Dorong Startup di Bursa, Akan Ada Perusahaan Cek Kosong di Indonesia?

startup di bursa- awanapps.com
Isi Tabel

Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) (Februari 2021) menyatakan pengguna internet Indonesia pada tahun 2020 telah mencapai 196,7 juta orang. Angka tersebut setara 73,6% jumlah populasi Indonesia. Hal inilah yang membuat PT Bursa Efek Indonesia (BEI) juga berupaya mendorong startup untuk masuk ke pasar modal atau melantai di bursa.

Hal serupa ditunjukkan riset tahunan bertajuk “e-Conomy SEA 2020” yang dilakukan oleh Google, Temasek, dan Bain & Company. Hasil risetnya menunjukan bahwa konsumsi digital masyarakat asia tenggara di tahun 2020 , mengalami peningkatan yang besar.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud, Nizam (15/11/2021), melihat bahwa lahirnya 10 unicorn  dan decacorn di Asia Tenggara, yang lima di antaranya lahir dan tumbuh besar di Indonesia yang didukung pemakaian internet masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, baginya startup harus didukung untuk bisa melantai di bursa, terutama yang berbasis kecerdasan buatan.

Pihak pemerintah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Kemendikbud, mendorong akselerasi lahirnya talenta digital berbasis kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) di Indonesia melalui perusahaan rintisan berbasis teknologi.

Dia menambahkan, kreativitas dan inovasi yang dilandasi dengan kompetensi dan kemampuan di bidang teknologi, terutama teknologi digital yang mengutamakan kecerdasan buatan dapat melahirkan startup digital, yang dapat berkembang menjadi unicorn bahkan decacorn. Contohnya perusahaan rintisan seperti Gojek dan Tokopedia, yang memiliki nilai valuasi di atas US$7 miliar.

Baca juga: Agar Tetap Eksis, Ini 6 Strategi Startup di Masa Pandemi

Potensi Startup

Mengutip berbagai kajian, Nizam menyebutkan potensi penggunaan kecerdasan buatan dalam 10 tahun ke depan. Ditambahkannya bahwa di Asia Tenggara termasuk Indonesia, berpeluang untuk menghasilkan nilai ekonomi baru senilai US$360 miliar atau hampir Rp5.000 triliun.

Oleh karena itu, PT Bursa Efek Indonesia (BEI) juga berupaya mendorong startup untuk masuk ke pasar modal, dengan melakukan penawaran saham perdana / initial public offering (IPO) atau sering disebut melantai di bursa. Hal ini karena banyaknya perusahaan bergerak dibidang teknologi, yang  melakukan IPO di awal tahun 2021.

Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna (12/2/2021) mengatakan, selain mendorong perusahaan besar untuk menggelar penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO), pihaknya juga berupaya mengajak startup yang mempunyai prospek, untuk melantai di bursa.

“Berbagai upaya  kami lakukan, antara lain Program IDX Incubator, papan akselerasi dan pengembangan peraturan, serta kebijakan lainnya, yang diharapkan mendukung perusahaan-perusahaan teknologi dan startup untuk memanfaatkan pasar modal Indonesia, sebagai rumah pertumbuhan,” ujar Nyoman.

Nyoman juga mengatakan bahwa Bursa Efek Indonesia (BEI) tengah merampungkan Peraturan I-A. Peraturan ini mencakup tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas yang Diterbitkan oleh Perusahaan Tercatat. Adapun, revisi ini ditujukan untuk dapat mengakomodasi berbagai karakteristik perusahaan. Khususnya untuk melakukan penawaran umum saham perdana startup atau melantai di bursa.

Baca juga: BRI Ventures Luncurkan Serial Soal Startup, Apakah sama dengan Drama Korea ”Start-Up”?

Perusahaan Rintisan Amerika Serikat Gunakan Perusahaan Cek Kosong untuk Himpun Dana Pasar Saham

Special Purpose Aquisition Company atau perusahaan cek kosong (SPAC) sekarang jadi pilihan startup untuk menghimpun dana investor dari pasar modal. Meskipun langkah ini masih terbatas melalui initial public offering (IPO). Padahal cara menghimpun dana ini, dulunya diejek Silicon Valley.

SPAC merupakan sekelompok investor pengumpul dana untuk perusahaan cangkang atau shell company. Kelompok ini tidak memiliki bisnis yang jelas, sehingga menjadi perusahaan cek kosong. Perusahaan cek kosong ini kemudian IPO, dan bisa mematok harga US$10 per lembar saham. Langkah selanjutnya perusahan ini mulai mencari perusahaan rintisan untuk diakuisisi.

Saat sudahmencapai kesepakatan dengan perusahaan rintisan, SPAC dan perusahaan cek kosong menarik investor lain. Investor ini dikenal sebagai PIPE atau disebut sebagai investasi swasta dalam ekuitas publik. Uang dari PIPE nantinya masuk ke neraca perusahaan cek kosong untuk ditukar dengan saham perusahaan rintisan yang diakusisi.

Sementara itu investor SPAC akan mendapatkan saham dari perusahaan rintisan yang diakuisisi. Kemudian sahamnya menjadi entitas yang diperdagangkan secara publik atau disebut de-SPAC.

Meski begitu para skekptis Wall Street mengingatkan hubungan antar SPAC dan perusahaan internet amerika, pada akhir 1990-an. Pada saat itu banyak startup yang bergerak di bidang internet. Startup ini dengan mudah melantai di bursa untuk menarik dana dari investor melalui IPO.

Tinggi adopsi komputer kala itu, membuat banyak investor mudah berinvestasi di perusahaan internet. Bahkan saham perusahaan internet tersebut sebagai tempat berspekulasi. Alhasil, valuasi perusahaan internet di pasar modal tumbuh lebih besar dari harga sebenarnya. Masalahnya kala itu, banyak perusahaan rintisan yang belum jelas model bisnisnya bangkrut.

Bahkan ada startup yang bangkrut 9 bulan, setelah melantai di bursa. Investor pun merugi. Lebih dari separuh perusahaan internet yang IPO bangkrut selama era akhir 90-an.

Baca juga: Dampak E-Commerce Terhadap Masyarakat Saat Pandemi

Kemungkinan Startup Indonesia Melantai di Bursa

Fenomena masyarakat Indonesia kini banyak berinvestasi di saham meskipun dengan konservatif yang tinggi. Hal ini yang membuat banyaknya perusahaan rintisan tertinggal. Selain karena fenomena digitalisasi kehidupan, adanya perubahan regulasi di bursa Indonesia bisa memunculkan fenomena SPAC.

Hal ini karena pola investor Indonesia yang konservatif, yakni masih melihat perusahaan dari valuasinya. Sehingga walaupun persyaratan perusahaan dipermudah, jika perusahaan tidak memiliki valuasi tinggi, maka akan sulit dilirik investor Indonesia.

Hal ini membuat startup bersembunyi di balik perusahaan cek kosong sistem SPAC. Yakni perusahaan yang dulunya tidak bisa bersaing karena digitalisasi. Hal terburuknya, apabila startup tumbang, maka perusahaan cek kosong dan investor akan ikut tumbang. Seperti yang terjadi pada perusahaan internet di era akhir 90-an.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments